Bernostalgia sama cerpenku yang dimuat setahun lalu di majalah Kawanku. Jujur aku suka banget sama cerpen ini (bukan karena aku yang bikin, lho ya! jadi fanatik). Tapi karena aku memang nulis dengan semangat yang full tanpa tekanan. Horee! Hati yang gembira ternyata bisa menghasilkan karya yang bagus ya. 

Sayang, majalah yang memuat cerpenku ini tutup. Emang tahun-tahun belakangan adalah masa yang berat banget buat media cetak bertahan melawan arus internet yang makin berkembang aja. Teori evolusi itu selalu terjadi dimana yang kuat akan bertahan, sebaliknya yang lemah akan tenggelam. Tapi bagiku selama masih bisa berusaha, berinovasi dan berdoa pasti ada saja jalan rejeki yang diberikan Tuhan untuk kita (amiiinnn).

Syndrom Hari Rabu

Oleh:Yustrini

Cerpen ini dimuat di majalah Kawanku, no. 208 22 Juli-05 Agustus 2015.

Baca Juga : [Mama & Buncis] Percikan dimuat di Majalah Gadis, no. 16/11-20 Juni 2013

Cerpen remaja


Namaku Renita. Aku paling nggak suka bangun di Rabu pagi. Rasanya malas berangkat ke sekolah. Maunya tidur dari hari selasa sampai kamis pagi.


"Renita banguuun....!!! Sudah jam berapa ini???!" teriakan mama paling heboh yang sering terjadi hampir di setiap Rabu pagi.

" Iya, Ma. Bentar lagi Renita bangun," sahutku masih dengan mata terpejam.

"Sabar, Ma. Biasa kan Kak Renita paling susah bangun di hari Rabu, "sindir Bobby adik laki-lakiku dari kamar lain.

Aku bangkit masuk ke kamar mandi, mandi secukupnya memakai baju seragam ogah-ogahan dan bergabung di meja makan ikut sarapan pagi.

"Jangan lupa bawa kaos olahraga," kata adikku yang lagi-lagi membuat mood-ku makin terasa buruk.

"Iya, terimakasih sudah mengingatkanku," sahutku kesal. Mana mungkin aku lupa hari ini ada pelajaran olahraga? Kalo aku nggak bawa kaos sama aja aku bunuh diri karena Pak Heri, guru olahragaku akan menghukumku lari 10 kali putar lapangan sampai seragam putih abu-abuku basah.

"Pa, kenapa di sekolah ada mata pelajaran olahraga?" tanganku meraih selembar roti panggang berlapis selai strawberry yang lezat buatan mama.

"Renita kenapa nggak suka pelajaran olahraga?" Papa malah balik bertanya.

"Olahraga itu bikin kita sehat, lho!" ujar mama.

"Tapi masalahnya nggak semudah nonton bola, Ma. Selalu saja Renita yang jadi bahan tertawaan anak-anak," ingatanku masih kental akan kejadian di minggu lalu. Saat lompat jauh, aku tak dapat menjaga keseimbangan waktu berlari sehingga ketika seharusnya kakiku melompat aku malah tersandung, menabrak pak guru yang berdiri di tepi lapangan. Dan berakhir di genangan air hujan dengan muka terlungkup.

"Ha, ha, ha. Pasti muka Kak Renita lucu sekali belepotan lumpur, ya!" Bobby tertawa paling keras mendengar kisahku.

Papa menggeleng-geleng kepala sambil tertawa, mama juga.

Dan yang paling menyedihkan saat itu adalah Kak Revo, kakak kelasku yang diam-diam kusukai tengah duduk-duduk di lapangan yang sama ikut menyaksikan aku jatuh. Dan dia tertawa! Memalukan!


"Ayo, semangat Ren! Papa dulu atlet idola sekolah, lho!"

"Oh, ya? Atlet apa?" tanyaku penasaran karena seingatku aku tidak pernah sekalipun mendengar atau melihat bukti kalau papa adalah atlet idola sekolah.

"Sepakbola," sahut papa.

"Masa sih?" tanya Bobby nggak percaya.

"Dalam mimpi," jawab papa kalem.

"Huuu..."
* * *


Siangnya aku pulang berjalan sendiri sambil merenungi kejadian tadi pagi saat latihan estafet. Aku satu tim bersama Tia, Fera dan Siska. Kami mendapat nilai terbawah dan teman- temanku menyalahkanku. Ah, sudah takdirku selalu KO di mata pelajaran itu. Sesalku.

Kutendang kerikil yang ada di dekatku.

"Tttiiinnn!!!" sebuah motor tiba-tiba berbelok tajam di depanku.

"Aduh!" Super bad syndrom hari rabu yang sempurna. Aku sukses jatuh tersungkur di atas kerikil-kerikil panas.

Pemilik motor itu berhenti dan turun mendekatiku.

"Kamu nggak papa?" tanya pengendara motor tadi sambil membuka helmnya. Ternyata orang itu, Kak Revo! Jantungku berdetak makin kencang.

"Lututmu berdarah. Kita obati di klinik saja," ujarnya sambil membantuku berdiri.

"Eng, nggak usah Kak, cuma luka kecil kok," tolakku. Uh, tahu nggak sih kalau tanganku sudah sedingin es di dekatmu, batinku.

"Kalo gitu kak Revo antar ke rumah, ya?"

Ini mimpi atau bukan ya? Kucubit kedua lenganku. Sakit. Aku mau meralat ucapanku tadi, ini bukan super bad tapi super great syndrom hari rabu.

"Sudah sampai, Kak. Makasih," ujarku ketika motor kak Revo sudah sampai di depan pagar rumahku.
"O, ya namaku..."

"Renita, kan?" potong kak Revo cepat membuatku melongo.

"Yang jatuh waktu lompat jauh kemarin, kan? Ha,ha,ha?" Lanjutnya.

Hal itu sumpah bikin aku kesal dan juga malu. Kurasakan mukaku mulai memanas, pasti rona mukaku kini berubah kemerahan seperti udang rebus.

"Maaf," kak Revo buat huruf V dengan kedua jarinya masih sambil menahan tawa.

"Kamu lucu. Eh, Kakak pulang dulu ya." aku berdiri di luar pagar sampai motornya menghilang di balik tikungan.

"Wah, anak mama ada yang naksir nih," mama tiba-tiba muncul di belakangku.

"Ah, mama. Tadi dia hampir nabrak sampai Re jatuh jadi dia antar Re pulang," jelasku.

"Masak sih? Jangan-jangan dia sengaja biar bisa kenalan sama kamu."

"Udah ah, Ma." aku bergegas masuk ke dalam menghindari ledekan mama. Dalam hati aku berharap ucapan mama benar, kak Revo sengaja mau nabrak aku karena ingin kenalan.

* * *


"Hai, Re!" entah mengapa suara kak Revo yang pelan bisa terdengar bagai petir menyambar di siang bolong bikin aku terlonjak dari bangkuku.

"Sorry, bikin kaget. Asyik baca apaan, sih?" tanya kak Revo sambil mengintip sampul buku yang sedang kunikmati.

"Biografi Hellen Keller?" kini ia mengambil posisi duduk di sampingku.

Aku nyengir. Malu ketahuan suka nongkrong di perpust dan suka baca buku non-fiksi.

"Kak Revo mau cari buku apa?" tanyaku setelah menyadari dia belum pegang buku apa pun.

"Hmm, nggak. Kakak cuma pengen tahu perpust di sekolah kita kayak apa," kak Revo memandang ke sekeliling.

Aku mengangguk-angguk mengerti model cowok seperti dia memang nggak pernah nongkrong di perpus untuk baca buku, lebih sering untuk mencari gebetan. Mungkin itu juga yang sedang dilakukan kak Revo saat ini.

"Eh, kalau di Perpusda lebih enak lagi tempatnya kayak cafe ada hotspotnya, dan koleksi bukunya lumayan lebih lengkap lho!"

"Wah, nggak nyangka ya kamu hobi di perpust. Pantas jadi juara terus," puji kak Revo  bikin aku makin merasa malu.

"Tapi belum bisa raih juara 1, kalah 'ma Debi," ujarku merendah..

"Pasti nilai penjaskes-nya nggak pernah bisa lebih dari enam, kan?" tebak kak Revo.

"Kok tahu?" aku mulai curiga jangan-jangan dia keponakannya Pak Heri, guru olahragaku.

"Jelas saja, aku kan lihat kamu nggak pernah bisa ikut pelajaran itu dengan baik. Tenaganya lemah sih. Kurasa kamu butuh latihan dan makan sayuran yang bervitamin. Pasti deh badan kamu kuat dan hebat,' ujarnya.

Aku tersenyum. Salut deh sama nasehatnya kak Revo.

Sejak hari itu aku sama dia jadi tambah dekat. Setiap hari dia mengantarku pulang, mengajakku ke kantin bahkan mau mengajariku main basket! Ih, nggak nyangka!

Harapanku, syndrom hari rabuku bisa benar-benar sembuh. Agar aku nggak jadi bahan olok-olokan lagi. Tapi sepertinya kemampuanku di bidang olahraga sudah benar-benar payah. Bola basket yang kulemparkan ke ring nggak ada satu pun yang masuk. Malah terakhir bola itu mental dan mendarat dengan manisnya di atas kepala kak Revo tanpa terhindarkan lagi. Semua menjerit melihat kak Revo tumbang dengan suksesnya.

Satu permintaanku setelah peristiwa ini terjadi. Semoga kak Revo nggak illfeel sama permainan bola basketku yang mengerikan, lalu frustasi dan bersumpah seumur hidup nggak pernah mengijinkan seorang Renita menyentuh bola basket lagi.

* * *


Di kantin.

"Untung dia nggak papa. Coba kalau dia amnesia," ujar Fera sambil menambah sesendok sambal di mangkoknya. Kini kuah baksonya berubah kemerahan. Kutebak, levelnya baru 4 dari 5 level. Sedangkan aku cukup menambahkan sedikit saus di kuah baksoku.

"Kamu bisa dituntut, tahu nggak?" lanjutnya sambil menyeruput kuah baksonya panas-panas.

"Nggak separah itu kali!" Aku memperhatikannya mengira Fera akan diam sebentar karena kepedasan.

"Yang parah itu kamu, Ren. Kemampuan atletis kamu sudah melebihi ambang batas minimum," dia masih saja bicara.

"Karena itu aku nggak bakal mau jadi atlet!" Aku masih penasaran Fera belum juga merasa kepedasan. Dia menaruh satu sendok sambal penuh ke mangkoknya. Astaga! Apa nanti dia nggak mulas perutnya?

"Menurut sumber berita yang bisa dipercaya, kak Revo jadian sama Shelby," bisiknya.

"Bohong!" Hatiku tiba-tiba terasa sesak.

Fera menggeleng. Dia menunjuk ke arah pintu kantin. Mataku mengikuti arah telunjuknya. Di sana kak Revo sedang digandeng mesra oleh Shelby. Sepertinya gosip itu benar.

"Renita?!" kudengar kak Revo memanggilku dalam nada terkejut melihatku ada di sana. Dan entah kenapa hatiku hancur melihat kebersamaan mereka di sana.

* * *


Dalam tiga hari ini kak Revo tidak lagi menemuiku juga tidak pernah mengantarku pulang. Rupanya berita kak Revo dan Shelby jadian itu benar. Lalu apa artinya kebersamaan kami selama dua minggu ini? Apa aku terlalu berharap kalau kak Revo juga menyukaiku?

"Hai, Re," sapa kak Revo saat aku berada di perpus.

"Hai, kak!" Aku berusaha untuk biasa saja tapi kekakuan di antara kami sudah tak terhindarkan lagi.

"Apa kabar Re?" tanya kak Revo seperti sudah lama sekali kami tak bertemu.

"Baik. Kakak?" sahutku.

"Kak Revo sudah putus sama Shelby," jawab kak Revo.

Akhirnya yang kuharapkan terjadi. Aku berusaha untuk tetap tenang nggak mungkin kan kalau aku tersenyum saat dia sedang sedih?

"Kami nggak cocok. Dia nggak suka kalau aku main basket. Aku sangat tersiksa 3 hari ini nggak pegang bola basket," kak Revo cerita.

Ya, iyalah. batinku.

"Re, kurasa selama dua minggu kita lewati aku punya perasaan khusus buat kamu," lanjutnya.
Aku mengerutkan kening.

"Kupikir kita cocok buat jadian. Maukah Re jadi pacar kakak?" kak Revo mengatakan sesuatu yang benar-benar membuatku terejut. Antara percaya nggak percaya. Semudah itu kak Revo putus dengan Shelby dan nembak aku hari ini? Memangnya aku cewek cadangan?

"Maaf Kak. Tapi Re nggak bisa jadian sama kakak," aku bangkit berdiri meninggalkan kak Revo.
"Tapi main basket sama-sama lagi, mau," ujarku sambil berbalik.

Kulihat kak Revo menunduk. Entah karena sedih atau malu ditolak. Yang jelas hatiku nggak untuk dimainkan seperti bola basket. Aku memang suka sejak dulu tapi kalau aku harus jadian sama dia di saat yang nggak tepat, tentu nggak mau. Mungkin nanti kalau kak Revo sudah benar-benar yakin suka sama aku, kita bisa jadian. Bisikku dalam hati. Dan kuharap aku tak terjebak dalam syndrom yang dibuat kak Revo sekarang.

* * * *

3 Komentar

  1. Renita bener.. Biar ndak sekedar pelarian nya revo aja. Cerpennya bagus mbak..

    BalasHapus
  2. bagus ceritany Kk, aq penasaran bgt knp dia syndrom bat sm hr rabu, karna ad pljrn PJOK rupany... hihihi, sm kt Re.. aq jg buruk di mapel PJOK(sedihhh_T)

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung ke Catatan Yustrini. Silakan meninggalkan komentar. Mohon maaf komentar yang masuk akan melewati tahap moderasi terlebih dahulu, spam, iklan dan yang mengandung link hidup akan saya hapus.