Cerpen Hilang

Hilang (dimuat di tamanfiksi.com edisi 09 Januari 2016)

Oleh: Yustrini

Hana namaku, aku baru masuk SMA selama 3 bulan. Kehidupanku sama seperti anak remaja limabelas tahun lainnya sebelum aku kehilangan waktu dalam hidupku. Sebagian bahkan seluruhnya. Tak ada yang dapat kujelaskan dan aku yakin tak ada seorangpun di bumi ini dapat mengerti apa yang sebenarnya kualami. Bahkan aku sendiri.


Semua berawal dari sebuah pertanyaan yang diajukan oleh temanku Karla. Hatiku dipenuhi rasa penasaran sampai akhirnya aku berada di tempat paling asing dan mengerikan yang tak pernah kukunjungi sebelumnya. “Kau tahu kenapa anak senior selalu melarang kita mendekati ruangan di sebelah UKS? Mungkin ada yang mereka sembunyikan,” ucapan ini yang akhirnya membuat aku nekat ingin mengungkap rahasia para senior.

Dan tanpa sepengetahuan siapapun aku pergi menyelinap masuk ke tempat terlarang dekat UKS melalui pintu belakang sekolah. Dingin yang menusuk dan suasana angker yang menyeruak di keheningan tak kuperdulikan. Sayup-sayup aku mulai mendengar suara orang-orang merapalkan mantera aneh seperti sebuah upacara ritual. Dari jendela kaca yang cukup rendah aku melihat sekelompok orang berjubah hitam-hitam di dalam ruangan remang-remang dengan beberapa lilin sebagai sumber cahayanya, mereka seperti akan mengadakan ritual ilmu hitam.

Napasku terhenti ketika ada sebuah tangan menepuk pundakku dari belakang. Aku menahan napas agar tetap tenang.

“Ikut kami,” Aku menoleh ke belakang dan menndapati dua orang yang juga berpakaian hitam telah berdiri mengepungku. Aku dibawa mereka ke tempat di mana semua orang berkumpul. Semua menoleh ke arah kami. Tapi aku tak dapat melihat wajah mereka karena tertutup kerudung hitam.

“Lapor ketua ada mata-mata di sekitar kita,” ujar orang yang menangkapku tadi. Aku meronta-ronta berusaha melepaskan diri namun gagal karena orang itu lebih kuat dariku. Kutangkap gerak-gerik kegelisahan mereka rupanya mereka tak pernah menduga bakal ada orang yang mengetahui kegiatan mereka.

Seorang bertopeng hitam dengan warna hijau di matanya mengarahkan pedang ke arahku, mata pisaunya terasa amat tajam menempel di leherku sehingga aku yakin bila sedikit saja aku bergerak, pedang itu akan dengan mudah melukaiku. Aku diam menahan rasa takut sambil menunggu dengan cemas apa yang kira-kira akan mereka lakukan terhadapku. Beberapa orang berbisik-bisik, seorang berjubah hitam dengan kerah tinggi masuk dalam kerumunan.

“Kamu telah tahu rahasia kami, kini giliran kami untuk mencuci otakmu,” katanya.

Selanjutnya aku dimasukkan ke sebuah ruangan lain, di sana cahayanya jauh lebih terang. Aku didudukkan pada sebuah kursi paling dingin yang pernah kurasakan.

Satu persatu mereka membuka kerudung. Aku mulai melihat Kak Anton, Kak Firman, Kak Soni, Kak Marsya juga Karla!

“Ternyata ini cuma permainan kalian,” ujarku lega. Senyumku mengembang.

“Aku tak menduga kalian bisa membuatku ketakutan.” Kutatap mereka lagi. Semua berdiri mematung diam membalasku dengan sorot mata yang tajam.

“Hei! Ada apa dengan kalian?” tanyaku bergetar. Denyut jantungku berdetak lebih kencang. Hatiku mengatakan mereka tak sedang main-main.

“Karla?” Kutelusuri raut wajah teman sekolahku itu. Kali ini aku kian bertambah takut dua kali lipat dari yang tadi.

“Diam!” Bentak Kak Anton, ia mendorongku lebih dalam lagi ke kursi dingin. Sebuah cahaya menyilaukan menerpaku dari langit-langit atas.

Pelan-pelan tangan, kaki dan tubuhku mulai menghilang. Cahaya terang itu menghancurkanku.

“Karla, toloooong aku...” untuk terakhir kalinya kata-kataku terucap dan tertinggal jauh di belakang.

* * *

Baca Juga: Gado-gado Femina "Pembeli Bukanlah Raja"

“Bangun anak malas!” Satu tendangan keras yang dilayangkan ke kakiku cukup membuatku tersadar. Perlahan kumulai membuka mata mendapati seorang wanita gemuk berpakaian ala gipsi lengkap dengan bando dan bandananya sudah duduk di sebelahku. Sedangkan aku terbaring di atas tempat tidur hangat. Matanya bulat lebar menatap ke arahku lekat-lekat. Tangannya dimainkan berputar-putar di depan wajahku, mulutnya komat-kamit melafalkan huruf-huruf yang aneh dengan mata terpejam.. Sebentar dia membuka mata.

"Sungguh malang nasibmu," gumamnya pelan hampir tak terdengar.

"Apa?"

"Ayo bantu aku melakukan pekerjaan," ia mengajakku ke ruang yang lain. Aku bangkit berdiri berputar-putar melihat tempat asing di sekitarku. Di mana aku? Kenapa aku bisa ada di tempat ini? Aku masih bertanya-tanya dalam hati.

'Heh jangan bengong begitu!" Bentak wanita itu. Ia berdiri di depan sebuah kuali yang amat besar. Tak ada perapian atau api di bawah kuali itu. Ia mencedok isinya dan memasukkan ke dalam gelas.

“Tolong berikan minuman ini kepada semua orang, mereka telah menunggu lama di depan,” ujarnya.
Bagaikan tersihir aku mengikuti semua perintahnya. Mengangkat baki berat dengan gelas-gelas kecil berisi minuman berwarna hijau seperti lumpur. Baunya saja tidak enak bagaimana orang mau meminumnya. Tapi perkiraanku salah mereka sangat menyukai ramuan itu.

"Terimakasih Zepora, anda telah menyelamatkan kami," kata salah seorang dari mereka.

Aku semakin tak mengerti apa maksudnya diselamatkan? Zepora pasti nama wanita gipzi itu. Lalu kenapa aku bisa berada di sini? Oh ya aku ingat! Tadi aku disekap oleh seniorku dan sesuatu telah terjadi padaku.

Cahaya itu...

Iya, cahaya itulah yang membuatku ada di sini.

* * *

Baca Juga: Rainbow Cake 

Hari-hari berikutnya, aku makin mengenal Zepora. Ia mempunyai dua karakter yang berlawanan, kadang baik kadang sangat jahat sungguh sangat sulit untuk di tebak. Tapi aku banyak belajar menbuat ramuan-ramuan darinya. Setiap hari selalu ada orang yang memintanya untuk obat. Kuakui ramuan buatan Zepora amat manjur, begitu orang meminumnya langsung sembuh.

"Zepora, seandainya aku ingin kembali ke rumah, apa kau ijinkan?" tanyaku padanya di suatu pagi saat kami sibuk membuat ramuan. Ia terdiam. Menatapku sebentar lalu mengaduk lagi. Ia terlihat sedih. Mungkin berat baginya melepaskan aku. Jadi kuurungkan niatku untuk bertanya lagi. Sepanjang hari itu, aku merasa tak enak padanya karena ia tak pernah bicara lagi sampai keesokan harinya.

Satu hal yang membuatku terkejut adalah ketika ia berbicara tentang siapa dia sebenarnya.

"Kamu tidak akan pernah bisa kembali ke dunia asalmu, orang-orang itu juga." katanya lirih.

Ia bercerita panjang lebar. Ternyata ia mengalami hal-hal yang sama denganku. Ditangkap orang-orang berkerudung hitam dan telah berada di sini selama ratusan tahun bila dihitung menurut waktu di dunia asalnya. Selama itu pula ia mencoba melakukan percobaan dengan membuat ramuan-ramuan yang dibacanya dari sebuah buku misterius yang ditemukannya.

"Ini adalah dunia yang hilang dan takkan pernah kembali lagi ke asalmu."

"Tapi ramuan itu bagaimana? Kenapa orang-orang selalu datang memintanya? Aku pernah mendengar dari seseorang tentang ramuan yang bisa memindahkan orang ke tempat lain." tanyaku.
"Ramuan itu hanya membuat mereka seolah-olah kembali ke dunia asalnya namun sebenarnya mereka tak pernah bisa kembali bahkan ke dunia yang hilang ini."

"Jadi?"

Zepora mengangguk, "mereka lenyap atau tersesat di dunia lain."

Bulu kudukku merinding mendengarnya. Tapi bagaimanapun aku harus mencoba untuk kembali ke tempat aku yang seharusnya. Apapun caranya dan resikonya termasuk meminum ramuan hijau itu.
Zepora memandangku ragu. Di tangan kanannya telah ada segelas ramuan yang baru diambil dari kuali.

"Saranku lebih baik kau tidak mencobanya," katanya.

Hatiku mendadak ragu. Bagaimana jika setelah minum ramuan itu aku benar-benar lenyap seperti orang-orang itu? Tidak! Kamu tak boleh ragu. Harus dicoba.

Aku menerima ramuan tadi. Zepora masih memberi isyarat agar aku berpikir lagi masak-masak. Tanpa ragu lagi aku langsung meminumnya. Memasukkan cairan hijau yang menjijikkan ke dalam mulut. Mungkin dengan cara inilah aku akan kembali ke tempat asalku yang sesungguhnya. Tetesan terakhir masuk ke dalam lubang tenggorokanku meninggalkan bau yang sangat menyengat.

"Hueeeks!" Aku hampir memuntahkannya.

Zepora menatapku. Perlahan-lahan aku merasa berputar-putar. Warna-warna benda di sekitarku bercampur baur.

"Semoga berhasil, nak!" ucapan Zepora terdengar jelas di telinga namun aku tak lagi merasakan kakiku berpijak di atas bumi. Duniaku di sekitarku terus berputar bagai sebuah lorong waktu.

Tak lama aku sudah berdiri di atas hamparan rumput yang hijau. Beberapa remaja sedang bermain sepakbola, mereka memberiku tanda agar aku segera menyingkir dari tempatku berpijak. Cepat-cepat aku pergi. Sepintas aku telah mengenali baju olahraga yang mereka kenakan. Aku yakin itu seragam olahraga sekolahku! Ya tidak salah lagi. Aku pasti telah berada di tempar asalku.

Ada dua anak yang kukenal sedang berjalan-jalan di pinggir lapangan. Kupanggil mereka sambil berlari-lari kecil. Mereka berbalik mengangkat alis, saling berpandangan kemudian mengangkat bahu.

"Hai ini aku, Hana. Teman sekelas kalian," kataku gembira. Kurentangkan tangan hendak memeluk mereka namun mereka malah berbalik meninggalkan aku.

"Hei...!!!" kukejar mereka berjalan di sebelah Desi.

"Kamu dengar ada yang memanggil-manggil kita tadi?! Tanya Desi.

"Iya. Aku juga mendengarnya. Seperti suara Hana," sahut Titin.

"Ini memang aku," seruku gembira.

"Tapi bukannya Hana itu telah meninggal setahun yamg lalu?' ujar Desi.

"Hei apa yang kalian bicarakan? Siapa yang meninggal? Aku Hana teman kalian!" Aku terus bicara tapi mereka tak memerdulikan aku.

"Apa kalian marah sama aku?" tanyaku tak mengerti.

"Sudahlah. Aku tak mau membicarakan lagi," ujar Desi.

Kenapa kalian menganggap aku seperti angin? Apa kalian mengira aku yang meninggal setahun yang lalu? Tidak ini pasti salah.

Aku berjalan terus. Selembar robekan koran terbang ke wajahku. Disitu tertera namaku ditulis sebagai headline dengan huruf yang besar-besar. Pandanganku kabur saat membaca dan menangkap suatu berita tentang anak SMU yang ditemukan tewas dalam gudang sekolah diduga karena overdosis. Dan siswa itu bernama Hana.

Tidak! Ini salah. Aku masih hidup. Akan kubuktikan. Akan kutemui keluargaku di rumah. Ayah, ibu dan adikku David pasti sudah menungguku untuk makan siang. Kuberjalan cepat-cepat. Tak seorangpun yang kukenal menegurku saat mereka berpapasan denganku. Aku tak peduli. Mereka pasti mempermainkanku.

Itu dia rumahku. Kulihat ibu berada di teras. Ia tersenyum begitu melihatku. Melebarkan tangan untuk memelukku. Aku tak menunggu lagi. Aku berlari ke pelukannya. Namun aku malah terjatuh. Dan ibu berada di belakangku. Aku menembus ibu.

"Hana!" Ibu berbalik. Air matanya keluar. Ia menangis.

Apa yang terjadi bu?

Ayah muncul dari dalam diikuti oleh David. Mereka memeluk ibu tanpa menyadari keberadaanku.

"Ayah,David!" teriakku.

"Hana sudah pergi, bu. Kita harus menerima kenyataan itu," hibur ayah.

"Tidaaak!!! Aku di sini..."

"Ibu, kau bisa mendengarku kan?" aku berusaha meraih tangannya namun tak bisa.

"Ibu... Katakan apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa aku tak bisa menyentuhmu?"

"Ramuan itu hanya bisa membuatmu merasa seolah-olah berada di duniamu kembali namun sebenarnya kau tak pernah bisa kembali..." kata-kata itu terngiang di telinga begitu jelas.

Bersamaan dengan itu kurasakan separuh nyawaku perlahan-lahan menghilang bersama debu. Seluruh tangan, kaki dan tubuhku lenyap tak berbekas.

"Hana!" hanya suara ibu yang terakhir kali kudengar sebelum semuanya menjadi serba putih.

Sejak saat itu aku benar-benar kehilangan semua waktu dalam hidupku. Namaku Hana, sebelum semua itu terjadi. Aku masih mencoba untuk memahami apa yang sesungguhnya kualami.

* * * *
Baca Juga: Komik Pak Janggut, Buntelan Ajaib dan Nostalgia


*Karya pernah dimuat di media Taman Fiksi tahun 2016.


0 Komentar